Pasang surut
perkembangan sistem politik di Indonesia memberikan banyak pembelajaran bagi
masyarakat Indonesia. Kekuasaan otoritarianisme yang direpresentasikan oleh
Soekarno melalui Demokrasi Terpimpin dan oleh Soeharto dengan penafsiran
tunggal Pancasila menjadi realita sejarah yang tak mungkin hilang dari
percaturan politik Indonesia. Kekuasan Orde Lama dan Orde Baru memiliki dampak
cukup signifikan terhadap perkembangan politik Indonesia saat ini. Reformasi
yang sudah bergulir sejak tahun 1998 selama 17 tahun ini menjadi bukti bahwa
bangsa Indonesia berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjadi entitas
peradaban di mata dunia, bukan hanya sekadar entitas nasional yang hanya diakui
dalam wilayah Asia Tenggara saja.
Realitassosial politik ternyata berkata sebaliknya. 17 tahun reformasi digaung-gaungkan
belum ada hasil positif yang memuaskan rakyat. Masyarakat masih banyak
mempertanyakan kontribusi para elite-elite politik yang menjadi representasi
rakyat terhadap kemajuan bangsa. Tidak dapat dinafikan bahwa seluruh masyarakat
Indonesia menghendaki reformasi yang memberikan keberkahan bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Reformasi
identik dengan demokrasi. Pada dasarnya wujud adanya reformasi adalah adanya
implementasi demokratisasi di seluruh lapisan struktur sosial dan politik.
Demokratisasi berarti proses menuju penyelenggaraan sistem demokrasi. Proses
yang terjadi setelah suatu bangsa meruntuhkan asas otoritarianisme penguasa.
Masa transisi adalah ciri utama keberlangsungan demokratisasi di suatu negara.
Mengapa
reformasi memilih untuk mewujudkan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara? Jawabannya adalah karena demokrasi merupakan sebuah keniscayaan yang
pasti dipilih oleh setiap bangsa dalam melangsungkan negara setelah
otoritarianisme berhasil digulingkan. Demokrasi menjunjung tinggi asas
kebebasan individu yang diwujudkan sebagai kedaulatan rakyat. Rakyat
mendapatkan posisi utama dalam demokrasi sehingga kedaulatan nya memberikan
andil besar dalam menjalankan negara. Tidak ada tirani penguasa di dalamnya.
Cukup konstitusi negara dan undang-undang derivatif sebagai kekuatan hukum yang
diciptakan wakil-wakil rakyat di lembaga pemerintahan.
Memilih
untuk melakukan demokratisasi berarti menyiapkan diri untuk bersabar pada
sebuah proses yang terkadang melelahkan. Demokrasi memang cenderung
menghasilkan sebuah proses yang lambat. Sebab proses tersebut sarat dengan
dialog, kompromi, konspirasi, kompensasi hingga konsensus tanpa henti.
Demokrasi bagi para pengagumnya membutuhkan kesabaran dan keuletan politik
dengan menyisakan ruang publik yang menata hubungan antar individu atau antar
pihak yang diperintah dengan penguasa.
Inilah
yang selama ini sedang berlangsung, kata seorang politikus dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah.
Ia mengatakan demokrasi secara prosedural memang membutuhkan proses yang tidak
serta merta singkat. Untuk berdemokrasi secara prosedural membutuhkan
tahapan-tahapan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang digodok bersama
secara politis. Tahap-tahap prosedural ini memberikan pelajaran berharga agar
bangsa ini senantiasa terlatih dalam kondisi yang teratur. Inilah sebab utama
yang menjadikan rakyat pesimis bahwa reformasi yang sedang berlangsung tidak
memberikan keberkahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun,
fakta menunjukkan hal lain. Proses demokratisasi yang sedang berlangsung saat
ini justru menciptakan demokrasi elitis yang sarat korupsi. Wujud representasi
rakyat dimaknai sebagai sarana untuk berkuasa secara formal dan legal sehingga
memberikan peluang lebih untuk meningkatkan keuntungan pribadi. Inilah yang
lebih lanjut disampaikan oleh Fahri Hamzah. Ia berpendapat bahwa demokrasi
dalam tataran substansial belum mewarnai semangat dan tradisi keseharian
bangsa. Demokrasi secara substansial berlangsung pada tataran pikiran,
kesadaran, dan watak sebagai individu dan warga negara (Hamzah, 2010: 86).
Proses
demokratisasi di Indonesia merupakan sebuah topik yang manis untuk selalu
dibicarakan oleh rakyat dan penguasa. Hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan
proses keberlangsungan demokratisasi merupakan masa transisi sistem politik,
dari otoritarianisme menuju demokrasi seutuhnya. Masa transisi ini dapat
terindikasikan dari upaya mewujudkan demokrasi secara prosedural dan dangkalnya
pemaknaan demokrasi secara substansial. Dua hal ini menjadi bukti bahwa bangsa
ini masih berada dalam masa transisi yang berkepanjangan.
Anis Matta
berpendapat, transisi akan berakhir ketika tanda-tandanya mulai memperlihatkan
diri secara tegas. Pertama, terformulasikannya kembali platform kenegaraan.
Kedua, terkonsolidasikannya kembali kekuatan-kekuatan politik nasional. Ketiga,
munculnya kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa. Keempat, tergalang nya
dukungan rakyat yang besar terhadap pemerintah dan proses pemerintahan yang
sedang berjalan (Matta, 2010: 59).
Ketika
proses demokratisasi di Indonesia telah tercapai, maka akan terwujud keutuhan
nasional negara ini. Reformasi yang mengusung demokrasi sebagai jalan akan
memberikan keberkahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, demokrasi
tidak selamanya menjadi sebuah sistem politik terbaik yang sempurna. Ia juga
memiliki sisi gelap yang bersumber dari prinsip liberalisme dan individualisme
yang menjadi pijakan paham demokrasi. Kebebasan dan sifat individualistik
cenderung menodai prinsip representasi mayoritas dalam sistem demokrasi. Hal
ini dapat mengakibatkan adanya determinasi sosial kepada kelompok minoritas yang
terpinggirkan. Sisi gelap ini semakin mengkhawatirkan tatkala dibenturkan
dengan prinsip pluralisme yang menjadi salah satu poin penting dalam sistem
demokrasi. Keduanya merupakan prinsip utama demokrasi yang saling meniadakan.
Sifat saling meniadakan ini muncul ketika pihak minoritas menyuarakan
pluralisme dalam iklim demokrasi dan mereka dipaksakan untuk mengikuti suara
mayoritas. Kedua prinsip utama ini merupakan problem yang dilematis.
Kekhawatiran
akan iklim demokrasi yang dilaksanakan sebagai sistem politik kenegaraan
disebabkan paham sekularisme yang mewarnai tumbuh kembangnya demokrasi.
Disebabkan paham sekularisme yang bermula dari Barat muncul paham liberalisme
dan individualisme yang menjadi dasar pijakan sistem politik demokrasi. Gerakan
sekularisasi yang dibungkus dengan atribut demokrasi ini menciptakan banyak
sekali permasalahan, salah satunya adalah memperjuangkan privatisasi agama agar
keluar dari urusan perpolitikan.
Harvey Cox
memberikan gambaran jelas tentang gerakan sekularisasi yang memiliki tiga
tujuan utama, yaitu: (1) penghilangan pesona Ketuhanan dari alam semesta (disenchantment
of nature), (2) peniadaan kesucian dan kewibawaan agama dari politik (desacralization
of politics), dan (3) penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai-nilai agama
dari kehidupan (deconsecration of values) (Cox, 1990: 2)
Cendekiawan
muslim Syed Muhammad Naquib Al Attas memberikan penjelasan terkait tiga tujuan
utama sekularisasi yang dinyatakan oleh Harvey Cox. Mereka orang-orang Barat
memaknai bahwa ‘disenchantment of nature’ dimaksudkan agar manusia tidak
lagi meyakini bahwa alam semesta merupakan kejadian yang suci. Untuk itu
diperlukan pembebasan alam semesta dari unsur Ketuhanan dan keagamaan serta
penghapusan makna-makna rohani dari kehidupan dunia. Sedangkan ‘desacralization
of politics’ yang mereka maksudkan adalah menghapuskan pengesahan agama
pada kekuasaan dan otoritas politik. Hal ini menyebabkan agama tidak lagi
memiliki legitimasi kuat dalam penentuan kebijakan politik. Adapun ‘deconsecration
of values’ yang mereka maksudkan adalah menjadikan semua karya budaya dan
setiap sistem nilai-termasuk tata nilai keagamaan atau worldview yang
mutlak-bersifat sementara dan nisbi (relatif). Dampak yang kemudian muncul
adalah tidak ada lagi sistem dan tata nilai moral yang sifatnya jelas dan rigid
(Al Attas, 1993: 21)
Pandangan
terhadap penolakan sekularisme juga muncul dari salah seorang negarawan
Mohammad Natsir. Ia berpendapat bahwa sekularisme memiliki pengaruh yang sangat
berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat (berbangsa dan bernegara).
Sekularisme menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ketuhanan
kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Dengan menurunkan nilai-nilai adab dan
kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka
pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut akan merosot. Manusia akan
merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai yang bersumber dari wahyu
Ilahi. Ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang harus dijunjung
tinggi, tetapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia
sendiri (Natsir, 2014: 63).
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah bagaimana sikap terbaik yang harus ditunjukkan
bangsa Indonesia dalam mengimplementasikan demokrasi sebagai sistem politik? Apakah
bangsa ini dapat menyiasati untuk me minimalisasi sisi gelap demokrasi dengan
maksimal?
Jawaban
atas dua pertanyaan diatas adalah dengan mewujudkan peradaban madani dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang beriklim demokrasi. Karena sejatinya demokrasi
merupakan sistem politik terbaik saat ini. Ketika peradaban madani ini berhasil
diwujudkan, maka iklim demokrasi yang dijalankan akan memberikan keberkahan
bagi Indonesia. Pernyataan Fahri Hamzah yang berpendapat bahwa saat ini
demokrasi secara substansial belum sepenuhnya terlaksana akan tertolak dengan
sendirinya.
Lalu,
apakah peradaban madani itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan beririsan dengan
dua hal, yaitu peradaban dan masyarakat madani. Kedua kata ini saling
berintegrasi membentuk frase “peradaban madani” yang bermakna masyarakat madani
yang berperadaban.
Sebuah
peradaban, menurut Armahedi Mahzar, mempunyai empat aspek eksistensial, yaitu:
(1) aspek aksiologis berupa keyakinan terhadap nilai-nilai yang dianut; (2)
aspek ideologis yang terwariskan dalam dalam bentuk ideologi, pengetahuan
ilmiah, filsafat, seni, dan sebagainya; (3) aspek sosiologis yang meliputi
lembaga politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya; serta (4) aspek ekoteknologi
yang tak lain adalah populasi manusia yang digambarkan sebagai rakyat.
“Baik
kesadaran maupun keyakinan seseorang, sebenarnya hanyalah sifat-sifat ruh yang
merupakan esensi pribadi. Begitu juga aspek-aspek ideologis dan aksiologis
peradaban, tak lain dari manifestasi aspek teleologis yang merupakan esensi peradaban.
Aspek teleologis inilah yang merupakan sumber dari nilai-nilai yang dianut umat
pendukung suatu peradaban,” ungkap Armahedi Mahzar. (Takariawan, 2013: 22-23)1.
Adapun
terminologi masyarakat madani sejak awal kemunculannya dari waktu ke waktu
terus berkembang. Kata ‘madani’ yang disematkan merujuk kepada masyarakat kota
madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW yang saat itu berdasarkan fakta sejarah merupakan masyarakat
majemuk pertama yang berhasil menciptakan konstitusi, yaitu Piagam Madinah.
Pada tahun
1994, ilmuwan politik Larry Diamond mendefinisikan masyarakat madani sebagai
warganegara yang bertindak secara kolektif dengan cara yang bersifat sukarela,
otonom dari negara dan terikat oleh tatanan hukum atau seperangkat aturan
bersama. Mereka bisa mengambil berbagai bentuk, termasuk organisasi komersial
seperti kamar dagang, kelompok profesional, kelompok LSM, kelompok pendidikan,
dan lain sebagainya. Mereka jug dapat mencakup kelompok agama yang bertujuan
untuk mempertahankan identitas kolektif atau mempertahankan keyakinan mereka
(Diamond, 1994: 5).
DirekturInstitute for Policy Analysis and Conflict (IPAC), Sidney Jones, menanggapi
definisi masyarakat madani yang disampaikan oleh Diamond. Ia beranggapan bahwa
Diamond melihat kelompok yang ia sebutkan memiliki peranan penting membatasi
peran negara dengan mencari perubahan kebijakan atau menuntut akuntabilitas.
Tapi, Diamond juga melihat mereka sebagai pendukung pluralisme sehingga dia
mengeluarkan berbagai kelompok fundamentalis serta kelompok lain yang berusaha
untuk memonopoli ruang fungsional atau ruang politik dalam masyaratkat (Jones,
2015: 6-7)2.
Merujuk
kepada dua definisi yang disampaikan diatas, dapat dibuat kesimpulan bahwa
peradaban madani adalah peradaban yang memiliki ruh teleologis berupa aspek
Ketuhanan yang diyakini secara konsekuen oleh seluruh lapisan masyarakat yang
heterogen. Masyarakat yang heterogen ini saling berintegrasi membentuk
masyarakat madani yang menjunjung tinggi asas peradaban yang mereka dukung.
Oleh karena itu, entitas nasional yang dimiliki bangsa Indonesia yang majemuk
seyogianya dapat bertransformasi menjadi entitas peradaban madani yang disegani
di kancah global.
Akan
tetapi, untuk mewujudkan entitas peradaban madani sebagai identitas bangsa
Indonesia, diperlukan penafsiran yang tepat terhadap substansi demokrasi yang
menjadi alat reformasi. Demokrasi secara substansial ini sebenarnya sudah
dirumuskan konsep-konsepnya dalam dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Keberadaan Pancasila ini seharusnya menjadi tolak ukur dalam melaksanakan
proses demokratisasi sehingga yang dilaksanakan bukanlah demokrasi yang
berlandaskan terhadap paham liberal dan individualistik sebagai hasil turunan
paham sekularisme, melainkan demokrasi yang berlandaskan lima asas Pancasila,
yaitu “Demokrasi Pancasila”.
Terminologi
Demokrasi Pancasila sebenarnya tak asing di telinga masyarakat Indonesia.
Namun, menurut penuturan Akmal Sjafril, jikalau Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang berlandaskan Pancasila, maka menafsirkan Pancasila merupakan
tugas yang teramat krusial sebelum membicarakan penerapan demokrasi di
Indonesia (Sjafril, 2013: 42)
Terdapat
satu sila penting dari Pancasila yang harus ditafsirkan dengan tepat, yaitu
sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai asas nilai Ketuhanan dalam
Pancasila. Penafsiran yang tepat atas sila pertama ini harus dilakukan karena
dikhawatirkan orang-orang yang berafiliasi kepada Demokrasi Liberal dapat
menafsirkan sila Pertama ini dengan seenaknya berdasarkan asas sekularisme.
Salah satu dampak penafsiran yang menyeleweng atas sila pertama Pancasila ini
adalah mental dualisme yang dilakukan oleh pejabat publik. Contoh faktual yang
terjadi adalah kekacauan berpikir yang melahirkan pernyataan “Kata-kata kasar
dan kotor lebih baik daripada korupsi uang rakyat”. Cendekiawan muslim Hamid
Fahmy Zarkasyi menjelaskan bahwa mental orang-orang sekular dan liberal adalah
mental seorang dualis.
Seorang
dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang
secara ontologis terpisah. Jiwa raga (mind-body) tidak saling terkait
satu sama lain karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci.
Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat. Padahal dari
jiwa lah kehendak berbuat jahat muncul (Zarkasyi, 2012: 79)
Urgensi
penafsiran sila pertama Pancasila yang tepat pada akhirnya menjadi sebuah
kebutuhan bangsa Indonesia. Ketika pemahaman atas “Ketuhanan Yang Maha Esa”
menjadi tolak ukur setiap pemikiran yang dihasilkan akal dan pijakan dalam
bertindak, maka dengan sendirinya akan tertanam dengan kuat keyakinan mengenai
kebenaran mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dampak yang akan timbul dari
munculnya keyakinan yang kuat ini akan melahirkan pemikiran dan perilaku
cemerlang berlandaskan nurani manusia yang pada dasarnya mengedepankan
kebenaran. Nurani yang selalu condong akan kebenaran tentu akan menciptakan
benih-benih kebaikan sehingga seseorang memiliki perilaku normatif dalam
interaksi sosial kemasyarakatan. Lebih jauh lagi, keyakinan transenden yang
kuat akan memberikan motivasi spiritual ketika memasuki dunia politik praktis
sehingga tidak terjadi pendangkalan nilai substansi Demokrasi Pancasila karena
menghalalkan segala cara seperti praktik korupsi yang sampai saat ini masih
menjadi permasalahan utama bangsa.
Almarhum
Nurcholish Madjid atau populer dengan sebutan Cak Nur dalam salah satu bukunya
menyebutkan urgensi sila pertama Pancasila dengan pemaparan yang apik dan
mendalam.
Benar
sekali pendapat Pak Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang di
dalamnya untuk pertama kali secara resmi nilai-nilai yang kelak disebut
Pancasila itu dirumuskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila primer dan
utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Benarlah
perumpamaan yang diberikan oleh Prof. Dr. Buya Hamka tentang Pancasila sebagai
suatu bilangan 10.000 (sepuluh ribu). Dimana angka 1 (satu) merupakan
perumpamaan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan empat angka nol
berikutnya merupakan perumpamaan empat sila selanjutnya. Sekarang hilangkan
angka 1 (satu) itu, maka yang akan terjadi ialah deretan empat angka nol
semata. Betapa pun panjangnya deretan angka nol itu, nilainya akan tetap juga.
Demikianlah Buya Hamka. Pendeknya, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara
mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apa pun dalam kehidupan manusia.
Sebab, seperti dikatakan oleh Gardner, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang
mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia.
Lebih terpahami lagi bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid itulah yang
menjadi sentral dari intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi semenjak
nabi pertama sampai nabi terakhir, Muhammad SAW. Demikianlah dikatakan dalam Al
Quran, Surah Al Anbiyâ (21) ayat 25 (Madjid, 1987: 216).
Jika
kembali mengingat dua prinsip demokrasi yang saling menjatuhkan, yaitu prinsip
representasi mayoritas dan pluralisme, kedua prinsip ini seyogianya tidak akan
saling menjatuhkan jikalau penafsiran atas sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dipahami dengan tepat. Ketika pemahaman akan sila pertama Pancasila ini
dipahami dengan tepat, maka nilai-nilai substansial Demokrasi Pancasila yang
luhur akan diaplikasikan dengan baik dan sesuai keadaban publik. Tidak ada lagi
pernyataan seperti “Kata-kata kasar dan kotor lebih baik daripada korupsi uang
rakyat” muncul dalam proses demokratisasi bangsa ini.
Prinsip
representasi mayoritas dan pluralisme menjadi suatu hal yang tidak perlu
dipermasalahkan. Karena keduanya merupakan keniscayaan yang ada dalam
demokrasi. Perbedaannya terletak dari bagaimana seseorang memperlakukan kedua
prinsip tersebut, apakah untuk mewujudkan kemaslahatan kolektif ataukah ke
egoisan pribadi? Seorang negarawan, dengan kepemimpinan moral yang dimilikinya,
ia akan menyeimbangkan kedua prinsip tersebut secara proporsional. Ia tidak
akan menjatuhkan kelompok minoritas dengan kekuasaan suara mayoritas yang ia
miliki. Begitu pun sebaliknya. Ia tidak menuntut adanya kebebasan yang keluar
dari kebenaran mutlak Tuhan dengan alasan pluralisme ketika berada dalam posisi
minoritas. Manakala memiliki kekuatan mayoritas pun ia tetap memperjuangkan
kemaslahatan bersama dalam koridor hukum Tuhan yang kebenarannya mutlak. Karena
sejatinya kedaulatan penuh yang dimiliki oleh rakyat dalam sistem demokrasi tak
lain adalah untuk merealisasikan hukum Tuhan yang sifatnya given.
Frase
“hukum Tuhan” dimaksudkan untuk mempertegas bahwa segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan. Maka pergerakan kehidupan dari
semenjak ia diciptakan hingga nantinya dimusnahkan merupakan kehendak Tuhan
atas kekuasaan terhadap makhluk-makhluk-Nya. Sudah sepatutnya sebagai makhluk
paling sempurna karena kepemilikan akal untuk menjalankan hukum Tuhan dalam
seluruh gerak kehidupan.
Lebih jauh
dari itu, kepedulian Pancasila lebih tertuju pada moralitas publik, bukan
kepada keyakinan pribadi. Oleh karena itu, dalam kerangka ketuhanan menurut
Pancasila, setiap orang diperkenankan secara pribadi untuk tidak memeluk agama
formal (sebagai agnostik atau bahkan ateis). Bahkan, ditegaskan kembali dalam
UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Namun, dalam kehidupan publik nya harus tetap
menghormati nilai-nilai ketuhanan-keagamaan seperti dikehendaki Pancasila
berdasarkan hasil kesepakatan konstitusional sehingga tidak diperkenankan
menyebarkan propaganda untuk menolak atau membenci agama (Latif, 2011: 112)3.
Pada
dasarnya semua agama menghendaki hukum Tuhan untuk diimplementasikan dalam
sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi suatu keniscayaan
yang mutlak karena tidak ada satu agama pun yang menghendaki adanya kehancuran
bagi umatnya. Inilah peranan Pancasila dirumuskan oleh generasi awal bangsa
yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia dirumuskan dalam rangka mengambil
jalan tengah antara ideologi sekularisme dan komunisme. Ia tidak
menghendaki adanya negara sekular, komunis, maupun agama. Namun, ia ada karena
menjadi solusi bagi kemajemukan bangsa ini. Ia menjunjung tinggi kemanusiaan
yang adil dan beradab serta persatuan nasional. Ia menjadi landasan bagi
terciptanya undang-undang hasil sistem demokrasi melalui permusyawaratan
rakyat. Semua itu ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dalam menciptakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kepustakaan
Al Attas, Syed Muhammad Naquib.
1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Cox, Harvey. 1990. The Secular
City. New York: Collier Books, Macmillan Publishing Company.
Diamond, Larry. 1994. “Toward
Democratic Consolidation,” Journal of Democracy. Vol. 5, No. 3, hal. 5.
Hamzah, Fahri. 2010. Negara,
Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan. Jakarta: Yayasan
Faham Indonesia.
Jones, Sidney dkk. 2015. “Sisi Gelap
Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran,” Sisi
Gelap Demokrasi: Kekearasan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina bekerjasama dengan The Ford
Foundation dan The Asia Foundation
Latif, Yudi. 2011. Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Madjid, Nurcholish. 1984. Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Matta, Anis. 2010. Menikmati
Demokrasi. Bandung: Fitrah Rabbani.
Natsir, Mohammad. 2014. Islam
Sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.
Sjafril, Akmal. 2013. Geliat
Partai Dakwah 1: Memasuki Ranah Kekuasaan. Bogor: Afnan Publishing.
Takariawan, Cahyadi. 2003. Dialog
Peradaban: Islam Menggugat Materialisme Barat. Solo: Era Intermedia.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat:
Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSIST.
(dakwatuna.com/hdn)
(1) Aspek teleologis yang disebutkan
Armahedi Mahzar bermakna bahwa semua kejadian (setiap gejala) terarah pada satu
tujuan. Maksud satu tujuan disini adalah kembali kepada konsep Ketuhanan.
Karena Tuhan merupakan eksistensi yang mengalawi semua penciptaan alam semesta
ini dan semua kejadian di alam semesta terjadi menurut kehendak-Nya
(2) Terkait hal ini, Jones tidak
sependapat dengan Diamond. Seharusnya kelompok fundamentalis tetap dimasukkan
dalam struktur sosial masyarakat madani.
Walaupun demikian, pendapat Yudi Latif mengenai
setiap individu berkewarganegaraan Indonesia berhak untuk menyandang status
sebagai seorang ateis atau agnostik-dengan tetap menjaga nilai ketuhanan dan
keagamaan-menurut hemat penulis tidak relevan dengan makna sila pertama
Pancasila. Makna ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dimaksudkan bahwa setiap warga
negara berhak untuk memeluk agama apa pun. Namun, tidak membenarkan adanya
penganut ateisme atau agnostisisme. Bahkan, sila pertama ini ditegaskan kembali
muatan kontennya dalam pasal 29 (2) UUD 1945.
Tags
ISLAM POLITIK