Syaikh
Muhammad Najih dalam beberapa halaqah pengajian beliau sering dhawuh
agar tidak menjadikan Pancasila sebagai panduan amal apalagi sebagai ideologi.
Hal ini karena Pancasila sering digunakan oleh kaum abangan-sekular untuk
mendukung sekularisme dan liberalisme terutama Pluralisme Agama serta untuk
menindas hak penerapan syariat secara hukum konstitusional. Hal ini telah
terlihat dalam kata “ketuhanan” dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”
yang menunjukkan makna pengakuan Tuhan yang kabur sehingga sering dimaknai
mengakui pengenalan dan deskripsi tuhan dari agama apapun. Selain itu, Abah
Najih juga mengatakan bahwa Pancasila adalah hasil pembohongan Kristen terhadap
umat Islam sehingga akhirnya merekalah yang memonopoli konstitusi negara dengan
berpedoman terhadap Pancasila yang kabur makna tersebut.
Pendapat
beliau tersebut ternyata selaras dengan pengakuan dan pendapat dari para tokoh
Kristen sendiri. Pendeta Dr. Eka Darmaputera dalam bukunya, Pancasila:
Identitas dan Modernitas, mengutip pendapat tokoh Kristen TB Simatupang
yang lebih suka menarik penafsiran Pancasila kepada makna yang kabur.
Menurutnya, orang dapat mengatakan bahwa prinsip-prinsip Pancasila adalah
kabur, tetapi jelaslah bahwa “kekaburan” itu justru merupakan kunci kekuatan
serta efektivitasnya di dalam menghadapi kenyataan kemajemukan Indonesia. Eka
juga memahamkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa tidak menunjuk kepada “Allah”
atau “Tuhan” yang tertentu, melainkan kepada satu “konsep” atau satu “prinsip”
yang umum dan abstrak.
Pandangan
semacam ini dipertahankan terus oleh kaum Kristen. Teolog Jerman Olaf Schumann
memberika penafsiran terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa, “Istilah
“ketuhanan” merupakan istilah yang sangat abstrak; bukan “Tuhan” melainkan
“ketuhanan”, suatu prinsip mengenai Tuhan, tetapi bukan Tuhan itu sendiri. Oleh
karena itu, ia pun sangat sulit diterjemahkan ke dalam bahasa asing… Jadi,
dengan rumusan sila ketuhanan diberikan ruangan luas yang sekaligus dilindungi
oleh negara agar agama-agama yang diakui dapat menguraikan dan mengembangkan
pemahaman mereka masing-masing mengenai Tuhan itu.” (Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, hal. 255-256)
Dalam
Seminar Pancasila ke-1 di Yogyakarta (16-20 Februari 1959), tokoh Katolik Prof.
Dr. N. Drijarkara S.J., membuat kesimpulan, bahwa “Negara yang berdasarkan
Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan
Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah… Perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa
harus dipandang menurut keyakinan bangsa kita yakni sebagai monotheisme.” Tokoh
Katolik di era Orde Lama dan Orde baru, Pater Beek S.J., jua merumuskan makna
Pancasila, “Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan
bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme), atau bahwa tuhan itu
berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila.
Pun jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi
kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada
hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater
Beek S.J., Larut tapi Tidak Hanyut, hal. 160)
Setelah
melihat berbagai pendapat tokoh Kristen di atas, mungkin sebagian kita akan
bertanya, bagaimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa sangat didukung oleh Kristen,
padahal dalam ajaran Kristen tuhan mereka ada tiga (Bapa, Ibu, dan Yesus)? Syaikh Muhammad Najih
telah menjelaskannya. Beliau mengatakan bahwa kata “Yang Maha Esa” dalam Sila
Pertama sesuai dengan ajaran Kristen, karena dalam doktrin Trinitas ketiga
tuhan Kristen (Allah, Yesus, dan Maria) merupakan three in one (tiga
yang menjadi esa/satu) sehingga cocok dengan makna “esa” dalam sila Pertama.
Bahkan,
ada pula yang mengatakan bahwa Pancasila menjamin orang untuk tidak beragama
(ateis). Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn. menulis, “Begitu pula kita harus
mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu
agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang
Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan
ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu.” Pastor J.O.H. Padmaputra, dalam
bukunya, Ketuhanan di Indonesia, menulis, “Apakah orang yang tidak
beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang
tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang
tertentu.”
“Karakter Berbasis Pancasila?”
Kini,
banyak program sedang dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap
unggulan, seperti jujur, tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan sebagainya.
Pemerintah dan DPR bersepakat bahwa Pendidikan Karakter perlu
diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju. Sekolah dianggap sebagai
tempat yang strategis untuk penyemaian pendidikan karaker. Tahun 2011,
Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul “Panduan Pelaksanaan
Pendidikan Karakter”.
Dalam
pengantar buku tersebut, Kabalitbang Kemendiknas menulis: “Pendidikan
karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus
menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan
dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.”
Menjadikan
Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter bangsa akan menimbulkan
persoalan serius, karena akan membenturkan Pancasila dengan agama. Pancasila
seyogyanya tidak dijadikan sebagai landasan amal, akhlak, atau karakter. Sebab,
itu adalah wilayah agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman
karakter atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang berbenturan dengan
posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak memiliki sosok
panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam pembentukan karakter. Berbeda
dengan Islam, yang memiliki suri tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi
Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.
Seharusnya,
bangsa Indonesia mau belajar dari kegagalan Orde Baru dalam upaya penempatan
Pancasila sebagai pedoman amal. Upaya pemerintah Orde Baru untuk menempatkan
Pancasila menjadi landasan moral dilakukan melalui sosialisasi dan indoktrinasi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak pengesahan Tap
MPR tentang P4. Tokoh Masyumi Sjafroedin Prawiranegara juga berkirim surat
kepada Presiden Soeharto tanggal 7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada
yang namanya moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama
masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas negara dan
landasan konstitusi.
Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul
Awwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan
Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila
sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara
Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang
menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah
dan hubungan antarmanusia. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul
“Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan
Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). Lihat juga, Munawar Fuad
Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad Siddiq,
(Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145).
Karena
itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indonesia memang didasarkan
kepada konsep Tauhid, sehingga memiliki landasan, konsep, dan teladan (uswatun
hasanah) yang jelas. Sebagai aplikasinya, misalnya, karakter
”toleransi”, harus diberi batasan, bahwa umat Islam tidak boleh
bertoleran terhadap kemusyrikan dan kemunkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah
sepatutnya, negara tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang
bertentangan dengan konsep Tauhid. Maka, keliru, jika atas nama semangat
Pancasila siswa diajarkan agar bertoleran terhadap segala bentuk aliran sesat yang jelas-jelas merupakan suatu
kemungkaran.
Yang benar
adalah, negara wajib melindungi segenap warganya, khususnya warga Muslim, agar
tidak mengikuti paham syirik dan kemungkaran. Yang terjangkit penyakit syirik,
diupayakan agar bertobat. Bukan malah dikembangkan dengan alasan itu merupakan
“local wisdom (kearifan lokal)”. Anak-anak Muslim perlu ditanamkan untuk
memiliki karakter yang kuat dalam bertoleransi, tetapi tanpa merusak
keimanannya dan tetap didorong untuk aktif menjalankan kewajiban dakwah, yakni
malaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. WaLlahu A’lam bi Shawab.
Tags
ISLAM POLITIK