Islam
adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Jika hal yang
sangat sederhana seperti urusan makan, tidur dan MCK diatur oleh Islam, apalagi
hal-hal yang besar yang tentu saja menjadi perhatian Islam. Jika hal-hal yang
bersifat pribadi ada Juknisnya dalam Islam, apalagi urusan yang bersifat
komunal yang mencakup hajat hidup orang banyak. Hal ini mengingat penyimpangan
terhadap hal private memiliki ekses kepada sedikit orang, sebaliknya
penyimpangan terhadap hal yang bersifat komunal akan berdampak pada banyak
orang. Dari semua itu, tentu saja jika Islam memberikan petunjuk dalam urusan
yang kecil maka menjadi keniscayaan jika Islam mengurus urusan yang lebih
besar. Di antara hal yang besar tersebut adalah masalah politik. Islam
memberikan perhatian pada pemimpin yang bagaimana yang akan dipilih umat Islam.
Langkah tersebut dapat dilakukan melalui proses politik. Di antara ayat-ayat
yang memberikan bimbingan dalam masalah politik adalah apa yang termaktub dalam
surat Ali Imran: 28, al-Nisa’: 89, 139, dan 144, al-Maidah:51, 57, 81, dan
al-Mumtahanah: 1. Semua ayat tersebut berisi larangan menjadikan orang-orang
non-Muslim sebagai “wali” baik dalam bentuk tunggal ataupun jamak, dengan
keragaman makna di antaranya; penolong, teman setia, dan lain sebagainya. Dari
pemaknaan tersebut, memaknai ayat sebagai bentuk larangan seorang Muslim
memilih pemimpin non-Muslim merupakan bentuk “qiyas awla” atau “fahm
al-khithab” dengan ilustrasi bahwa jika menjadikan penolong atau teman
setia saja tidak boleh, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Ketika
Islam memerintahkan umatnya untuk memilih pemimpin terbaik, maka secara tidak
langsung Islam memerintahkan umatnya untuk hidup sadar politik atau melek
politik. Politik adalah sarana yang niscaya dalam menentukan seorang
pemimpin. Ketika ada larangan lahirnya pemimpin non-Muslim, maka umat Islam
diminta untuk menghadirkan pemimpin Muslim, dan hal itu hanya dapat diwujudkan
melalui proses politik. Meninggalkan aktivitas politik secara tidak langsung
melalaikan kewajiban memilih pemimpin yang sesuai dengan Islam sebagai
konsekuensi dari adanya larangan memilih pemimpin non-Muslim. Ada satu kaidah
dalam ushul fiqh bahwa perintah terhadap sesuatu sekaligus merupakan
perintah juga terhadap segala hal yang menjadi sarana merealisasikan perintah
tersebut. Perintah shalat meniscayakan adanya perintah berwudhu, begitu pula
dengan perintah memilih pemimpin yang baik yang meniscayakan umat Islam masuk
dalam ranah politik sebagai medianya. Adapun bunyi kaidah tersebut adalah Al-amru
bi al-syai’i amrun biwasa’ilihi (perintah terhadap sesuatu, sekaligus
perintah melaksanakan perbuatan yang menjadi sarananya), atau kaidah Ma la
yatimm al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban yang tidak bisa
dilaksanakan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya).
Dari
sisi historis perjalanan bangsa Indonesia, ketika seorang Muslim meninggalkan
politik, maka sesungguhnya ia menerapkan apa yang sudah direkomendasikan Snouck
Hurgronje (8 Februari 1857 – 26 Juni 1936) kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Hurgronje dengan sepak –terjangnya berpura-pura masuk Islam berhasil menemukan
hal yang sangat penting ketika ia menyampaikan bahwa pemerintah Hindia
Belanda tidak perlu mengkhawatirkan Umat Islam yang melaksanakan ibadah haji.
Seorang muslim yang berhaji, mereka hanya menginginkan ibadah saja. Pelaksanaan
ibadah haji tidak menunjukkan fanatisme dan militansi seseorang terhadap Islam.
Harry J. Benda dalam bukunya The Crescent and The Rising Sun: Indonesian
Islam Under The Japanesse Occupation 1942 – 1945 mengutip masukan Snouck
Hurgronje yang senada kepada pemerintah penjajahan Belanda bahwa musuh
kolonialisme sesungguhnya bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai
doktrin politik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap apolitis
merupakan bentuk kontribusi umat Islam terhadap mereka yang memusuhi Islam agar
tetap dapat dijajah dan dikuasai. Jika sikap ini yang menjadi pilihan utama
umat Islam di masa lalu, tidak mustahil kemerdekaan hanyalah utopia belaka.
Tetapi semua itu tidak terjadi, karena tingginya kesadaran politik umat Islam
pada masa tersebut.
Dari
sisi filosofis terkait dengan sekulerisme, Islam memiliki sejarah berbeda
dengan Kristen. Sekulerisme (pemisahan agama dan Negara) tidak tepat jika
dijadikan solusi yang dialamatkan ke dalam Dinul Islam . Kristen melalui gereja memiliki dark age (sejarah
kelam) ketika menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Gereja menjadi otoritas
tertinggi yang dapat menghilangkan setiap orang atau komunitas yang berbeda
pendapat dengannya. Ko Lingkang dalam tulisannya “The Dark Ages of
Christianity: 10th – 15th Century” menggambarkan
fenomena sejarah kelam tersebut dengan perilaku negatif yang muncul di kalangan
gereja berupa; rendahnya moralitas, tingginya tingkat korupsi, dan kekuasaan
kepausan yang bersifat otoriter. Sehingga pada saat itu, sekulerisme
dilahirkan untuk menghilangkan kesewenang-wenangan Gereja yang menggabungkan
kekuasaan Negara dan agama. Bahkan menurut Graeme Smith dalam “Histoy of
Seculerism”, sekulersime adalah bagian dari proses penyempurnaan Kristen
Baru (new Christianity) atau gereja yang tetap menginginkan kebaikan.
Sebaliknya Islam sebagai agama tidak memiliki pertentangan apapun dengan ilmu
pengetahuan, bahkan keduanya bisa tetap berjalan dan bersinergi. Sekulerisme
tidak perlu dihadirkan untuk menyempurnakan Islam, karena nilai-nilai Islam
sendiri tidak pernah bertentangan nilai universal yang diakui seluruh umat
manusia.
Ranah
politik sendiri pada awalnya adalah sesuatu yang netral, yang kedudukannya sama
dengan urusan pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Netralitas wilayah
politik tidak berubah dengan perilaku negatif sebagian pelakunya. Fenomena dan
perilaku politisi itulah yang kemudian berakibat pada stereotip negatif
politik. Perilaku politisi yang buruk tidak secara otomatis menjadikan dunia
politik menjadi kotor. Justru jika dunia yang identik dengan perilaku negatif
ditinggalkan oleh orang yang memiliki idealisme, maka dunia politik tersebut
bertambah negatif dan semakin meninggalkan netralitasnya. Pekatnya
kecenderungan negatif dalam wilayah politik sudah disadari sejak awal, itulah
mengapa Plato dalam bukunya “Republic” menyebutkan konsep “Philosopher
King” bahwa seorang raja haruslah seorang filosof. Menurut Plato, tidak
mungkin orang yang tidak mengenal nilai-nilai akan mampu menerapkannya. Hanya
orang yang mengenal nilai-nilai tersebut yang akan mampu menerapkannya. Filosof
pada zamannya adalah representasi komunitas yang memahami nilai-nilai ideal. Di
samping itu Plato sejak awal meniscayakan keharusan adanya altruism bagi
seorang politisi. Altruisme sendiri adalah keniscayaan bahwa orang tersebut
adalah orang yang baik. Menurut Kent Thune dalam “Plato: The Philospher King”,
bahwa konsep nilai ideal dan altruism adalah dua makna yang terkandung dalam
teori Philosopher King Plato. Narges Tajik dalam artikelnya “Happiness in Plato’s
Theory of Philosopher – King” menyebutkan bahwa dengan teori ini Plato
menjanjikan akan adanya kebahagiaan (happiness) di tengah masyarakat.
Teori Philosopher King Plato juga mengisyaratkan keharusan pemaduan antara
filsafat dan politik.
Terakhir,
Perpaduan Islam (agama) dan Politik akan melahirkan satu simbiosis mutualisme.
Melalui Islam, politik akan menemukan ruh atau kerangka idealnya yang akan
mengawal lahirnya perilaku politik yang baik. Begitupula sebaliknya, dengan
adanya politik maka Islam akan menemukan tempatnya untuk bergerak membumikan
nilai-nilai ideal. Tanpa simbiosis mutualisme keduanya, maka Islam akan
kehilangan ruang untuk bergerak membumi, pada saat yang sama politik tanpa
Islam akan kehilangan nilai-nilai yang menjaga kemuliaannya. Bahkan pada
gilirannya Islam akan mampu menghadirkan solusi-solusi signifikan pada
permasalahan-permasalahan yang tidak mampu dihadirkan oleh politik ataupun
politisi. Patrick F Fagan dalam tulisannya “Why Religion Matters: The Impact
of Religious Practice on Sosicla Stability” secara gamblang menjelaskan
bagaimana perilaku ketaatan agama seseorang mampu menghadirkan stabilitas bagi
negara seperti Amerika sekalipun.
Dari berbagai gambaran di atas, semakin jelas
bahwa perpaduan antara Islam dan politik adalah satu kebutuhan dan keniscayaan.
Islam akan mengidealisasikan politik melalui internalisasi nilai-nilai ideal
berpolitik pada diri para politisi, sementara politik akan membumikan
nilai-nilai Islam dan memberdayakan umatnya melalui revitalisasi kesadaran
politik yang dibingkai oleh nilai-nilai ideal. Dengan seperti itu akan lahir
sikap politik yang luhur demi menghadirkan kebahagiaan bagi segenap warga
bangsa ini.
Tags
ISLAM POLITIK