Ada
kegelisahan yang kuat di kalangan umat terhadap kepemimpinan Ahok, gubernur DKI
Jakarta. Momentum pilkada DKI pada 2017 nanti akan menjadi pembuktian
apakah kegelisahan itu efektif atau justru semakin menjadi bukti kian pudarnya
Islam politik. Islam politik selalu mengalami pasang naik dan pasang surut (kondisi seperti ini biasanya dipengaruhi
dengan adanya upaya pembungkaman atas perkembangan dan pergerakan Islamisme di
tanah air). Di awal perubahan selalu mengalami kenaikan, tapi di saat
konsolidasi akan mengalami episode menepi. Lalu melawan untuk kembali naik, tak
lama akan tersingkir lagi. Namun signifikansi
grafiknya selalu menurun dari segi capaian, secara ekonomi maupun
politik.
Di awal reformasi ada kegairahan baru pada Islam
politik. Kantong-kantong umat bergegas menata diri memasuki arena politik: NU
membentuk PKB, Muhammadiyah membentuk PAN, kekuatan sosial baru membentuk PKS,
dan konfigurasi lama tetap di PPP,
seandainya ummat menyadarkan diri untuk bangun dari keterpurukan mimpi kejayaan
masa lalu dan membentuk suatu koalisi yang kuat, bukan saja yang berada pada
pusara kepentingan personal belaka, kejayaan niscaya akan terbentuk. Namun apalah daya beragam
propaganda baik yang bersifat internal negara itu sendiri, maupun eksternal
dengan adanya kerawanan kepentingan dari pihak luar (asing) untuk menguasai kekayaan
negara.
Sementara sebagian lain tertransformasi di
Golkar, Demokrat, Gerindra, bahkan kemudian PDIP ikut membentuk sayap Islam yang pada gilirannya terbentuklah poros
tengah, poros Islam / moderatisasi Islam yang blur secara pemahaman maupun
kesepakatan para ahli.
Ada generasi baru yang tak lagi berdiam di
persekutuan atas dasar asas Islam atau basis sosial Islam. Inilah salah satu
keberhasilan sekularisasi politik oleh Orde Baru.
Dalam perjalanannya, kegairahan Islam politik di
PKB, PAN, PKS, dan PPP selalu terseok di papan tengah. Mereka tak pernah mampu
naik di papan atas, kalah oleh PDIP dan Golkar, bahkan pendatang baru Demokrat
dan Gerindra. PBB bahkan tersingkir dari parlemen. Persentase suara gabungan
partai-partai tersebut tak sebesar persentase suara gabungan Masyumi, NU,
Perti, dan SI pada pemilu 1955. Sejak 1999 hingga 2009 perolehan suaranya terus
menurun, dan sedikit naik lagi pada pemilu 2014.
Hal itu berbeda dengan kekuatan PNI yang bisa
tetap terkonsolidasi, terutama sejak naiknya Megawati ke pentas politik di
PDIP. PDIP juga mampu menghimpun pemilih dari Partai Katolik, Parkindo, bahkan
anak-anak PKI. Mereka mampu tetap menjaga faksi-faksi yang disatukan di masa
Orba. Ini berkat kepemimpinan yang kuat dari Megawati. Kendati di masa
reformasi ada partai-partai baru yang mencoba meraih basis-basis pemilihnya,
namun semuanya bertumbangan.
Secara kebetulan, pada pemilihan presiden 2014,
hanya ada dua kandidat calon presiden. Seluruh partai berasas Islam dan
berbasis sosial Islam, kecuali PKB, berada di belakang kandidat Prabowo-Hatta.
Keberadaan PKB, Jusuf Kalla, dan sejumlah tokoh Islam di belakang pasangan
Jokowi-Kalla membuat pemetaan kekuatan Islam politik dan di luarnya menjadi
gagal. Namun harus diakui sebagian besar pemilih santri memberikan suaranya ke
Prabowo-Hatta. Kini, dengan cara politik Ahok, telah membuat polarisasi itu
menguat.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Harus
diakui ada segolongan orang yang belum bisa menerima non-muslim menjadi
pemimpin negeri. Golongan ini sebenarnya kecil saja. Karena ormas-ormas Islam
mainstream pada umumnya tak menyoal hal seperti itu lagi. Sudah banyak
non-muslim menjadi kepala daerah. Hal itu biasa saja. Hadirnya kepemimpinan
non-muslim juga sudah lazim di korporasi, kementerian, maupun di ormas-ormas.
Umat Islam Indonesia sudah biasa dengan pola hidup multikultural. Mereka
berbelanja di toko-toko milik non-muslim, bekerja di perusahaan milik non-muslim,
membeli barang-barang milik non-muslim, dan seterusnya. Bahkan ketika bank
syariah hadir, mayoritas umat tetap nyaman di bank konvensional.
Lalu haruskah umat Islam mencari jawab terhadap
berisiknya situasi soal Ahok ini? Lebih bijak bersikap tak perlu. Mencari
kelemahan atau kelebihan Ahok pasti masing-masing ada. Pro-kontra soal itu tak
akan ada habisnya. Yang harus dilakukan adalah belajar dari situasi ini.
Pertama, aspek politik. Di DKI Jakarta ini,
pembagian kursi di DPRD adalah PDIP 28 kursi, Gerindra 15, PKS 11, PPP 10,
Demokrat 10, Hanura 10, Golkar 9, PKB 6, Nasdem 5, dan PAN 2. Total gabungan
partai berasas dan berbasis massa santri adalah 29 kursi (27 persen). Jauh dari
total 106 kursi. Angka 27 persen memang angka lazim perolehan suara partai
berwarna Islam. Itupun terdistribusi di empat partai. Sebagai perbandingan,
empat partai itu di level nasional, DPR RI, meraih 31 persen kursi.
Kedua, aspek ekonomi. Hanya bisa dihitung dengan
jari tangan dari 100 orang kaya di Indonesia beragama Islam. Itu pun tak ada
yang berafiliasi ke partai berasas dan berbasis massa santri. Mereka umumnya
terafiliasi ke Golkar, Demokrat, dan PDIP. Situasi ini tentu kemunduran
dibandingkan dengan pemilu 1955 maupun di masa Orde Baru. Saat itu PPP memiliki
ketua dari pengusaha papan atas, yakni almarhum Thayeb Mohammad Gobel. Walau
bagaimana pun kekuatan ekonomi ini yang akan menjadi penopang utama dari
kehidupan politik dan sosial.
Ketiga, aspek gerakan sosial strukturalis. Umat
lemah di jaringan dan kelembagaan sosial yang menjadi penopang aktivitas
politik, seperti LSM maupun badan-badan adhoc yang bekerja di bawah. Kendati
kecil, LSM mampu menjadi kelompok penekan yang efektif. Umumnya LSM umat berada
di garis developmentalis. Kendati LSM developmentalis ini besar namun mereka
tak terampil melakukan gerakan politik.
Keempat, umat tak terampil dalam merumuskan
aspirasi dan gagasan ke dalam bahasa universal. Mereka selalu terjebak ke dalam
bahasa primordial dan sektarian. Akibatnya mereka gagal dalam meraih simpati publik.
Kelima, tak menguasai institusi media, termasuk sosmed. Dalam dunia modern,
media memegang peranan sangat penting. Opini publik yang terbangun akan
bertransformasi menjadi kebijakan publik. Keenam, ini yang paling parah:
berpecah belah. Kuat dalam ego kelompok dan susah untuk bersatu.
Lalu dari mana harus dimulai? Hanya ada tiga
jalan: kepemimpinan, militansi, dan persatuan. Pilkada DKI pada 2017 bisa
menjadi ajang uji coba militansi dan persatuan itu. Berhentilah berpecah belah,
saatnya bersatu. Namun militansi dan persatuan yang sejati tak lahir karena ada
faktor luar, tapi karena ada api ide yang berkobar di dada dan keteladanan yang
bersemayam di kepribadian.
Tags
ISLAM POLITIK