Ketetapan MPR terhadap penyusunan Peraturan Perundang-undangan (UUD NRI 1945)

 

Ketetapan MPR terhadap penyusunan

Peraturan Perundang-undangan (UUD NRI 1945)


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR merupakan salah atu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimate berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.    Peraturan Pemerintah;
5.    Peraturan Presiden;
6.    Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun 1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.
Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan berdasarkan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya merupakan bentuk penegasan saja bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Namun demikian, dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang- undangan tersebut, tentu saja membawa implikasi atau akibat hukum yang membutuhkan penjelasan rasional, agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda.
Perundang-undangan  yang  dalam  bahasa  Inggris  adalah legislation atau  dalam  bahasa Belandawetgeving atau gesetzgebung dala bahas Jerman mempunya pengertia sebagai berikut:
1.         perundang-undangan sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan
2.         perundang-undanga sebaga segala   peratura negar yan merupaka hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
Sedangkan Satjipto Rahardjo, memberikan batasan mengenai perundang-undangan yang menghasilkan peraturan, dengan cirri-ciri sebagai berikut :
1.         bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat- sifat yang khusus dan terbatas.
2.         Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3.         Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali
Pendapat Satjipto Rahardjo tersebut melahirkan konsekuensi, bahwa pengertian dan definisi peraturan perundang-undangan dikunci pada aspek ketentuan yang mengatur (regeling) dengan sifat berlaku umum, tidak kongkrit dan ditujukan untuk publik. Hal tersebut berbeda dengan sifat yang melekat dalam suatu keputusan (becshikking) yang bersifat kongret, individual dan berlaku sekali waktu (einmalig). Jika ditarik dalam konteks sistem perundang-undangan Indonesia, maka suatu produk hukum dalam setiap tingkatan kelembagaan Negara dapat dikatakan sebagai bagian dari peraturan  perundang-undangan,  jika  memenuhi  unsur  peraturan  (regeling)  sebagaimana  yang
disebutkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut
Setidaknya  ada  2  (dua)  aspek  yang  mendasari  struktudan  karakterisitik  peraturan perundang-undangadimasing-masing Negara. Pertama, ilmu pengetahuan yang berkembang di Negara yang bersangkutan.Kedua, sistem ketatanegaraan yang berlaku di Negara tersebut. Jika berkaca pada kondisi Indonesia, peraturan perundang-undangan yang kita miliki, sangat ditentukan oleh sistem ketatanegaraan yang berlaku. Sebagai contoh, kedudukan TAP MPR sangat ditentukan oleh pengaturan kedudukan dan kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen. Disamping itu, peraturan perundang-undangan Indonesia juga banyak mengadopsi sistem yang berlaku di Negara-negara penganut sistem eropa continental. Namun demikian, sifat adopsi yang dilakukan Negara kita tidak harus menelan mentah-mentah apa yang berlaku dalam sistem Eropa continental tersebut.
Hal ini sejalan dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi, yang menegaskan bahwa teori perundang-undangan  yang  berkembang  di Eropa  Continental hendak  memodernisasikan  pranata ketatanegaraan pada umumnya dan pranata perundang-undangan pada khususnya, sehingga perlu juga dilihat, dibandingkan, dan jika perlu ditiru sistemnya di negara lain. Akan tetapi cita dan filsafat yang  mendasarinyanilai-nilai  titik  tolaknyapengertian  dan  pemahaman  dasarnya,  serta  ruang lingkup dan tata kerja penyelenggaraannya, singkatnya paradigma-paradigmanya, harus tetap mempertahankan apa yang digariskan oleh Cita Negara Kekeluargaan Rakyat Indonesia, Teori Bernegara Bangsa Indonesia, dan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Hukum Dasar kita, yaitu UUD 1945.
a.  Kedudukan dan Kewenangan MPR
 Kedudukan TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah satu perubahan penting dalam UUD 1945 yang mempengaruhi kedudukan dan kewenangan MPR adalah perubahan pada  bagian bentuk dan kedaulatan Negara khususnya pada Pasal 1 ayat (2) UUD. Sebelum amandemen disebutkan bahwa, Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleMajelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan setelah amandemen dirubah menjadi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang DasarPerubahan yang signifikan juga terlihat  pada  Pasal  3   UUD  1945.  Jika  sebelum  amandemen  MPR  diberikan  kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), maka pasca amandemen kewenangan tersebut sudah tidak diberikan lagi.
Dimasa lalu, konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis- Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S) sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal ini kemudian semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki derajat di bawah UUD. Namun menurut  Mahfud  MD,  menempatkan  TAP  MPR  sebagai  peraturan  perundang-undangan  dalam derajat kedua (di bawah UUD 1945) sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan (regeling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan  6    Menetapkan itu  sebenarnya  dapat  hanya  diartikan  sebagai  penetapan (beschikking) yang bersifat konkret, individual. Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu  saja  memberikan  akibat  perubahan  kedudukan  dan  kewenangan  MPR  pula.  Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :
1.            MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2.            Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi joint sesionantara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya sedang dilaksanakan7. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.
3.            MP tidak    lag memiliki   kewenanga untu membua ketetapa yan bersifat mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat  ketetapan  yanbersifat  keputusan  (beshickking).  Dihilangkannya  kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat mengatur.
Sejalan dengan point ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak bias dijadikan      sebagai      peraturan      perundang-undangan      atau      memuat      hal-hal      yang bersifat regeling (pengaturan)8. Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR boleh saja ada, tetap ia   buka peratura perundang-undangan   (regeling melainka sebata penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD
1945
b.    Kedudukan TAP MPR
Untuk melihat kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan Indonesia, baiknya kita memulai dari teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperknalkan oleh Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisasi atau pengelompokan terhadap beragam norma hukum dasar yang berlaku. Teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Teori ini memberikan penjelasan susunan norma sebagai berikut :
1.       Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.       Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.       Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.       Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung)10
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di Indonesi adalah sebagai berikut :
1.       Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.       Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3.       Formell gesetz : Undang-Undang.
4.       Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota11
Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia12. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan- haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.
c.    Implikasi Hukum
Pasca diterbitkannya Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undanganmaka  keberadaan  TAP MPR kembali menjadi wacana (diskursus) hangat disemua kalangan, khususnya diantara para ahli hukum tata negara dan perundang-undangan. Implikasi hukum dimasukkannnya kembali TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang- undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda.
TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahu 201 tentan Pembentuka Peratura Perundang-undangan,   bisa   djabarka melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, Yang dimaksud dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  yanmasih  berlaku  sebagaimandimaksudalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.

Post a Comment

Budayakan Komentar Santun, Budayakan Rasa Terima Kasih

Previous Post Next Post