Preamble It has been mentioned in advance that the main distinguishing feature of the Shia Imami Twelve Imams to others is the belief in the Imamate (leadership) twelve Imams appointed an Imam in succession through an-Nas wa al-washiyyah (written text as well as a will).
Confidence is what later became the pivot for all conceptions and beliefs that appear later, so that we can call that the Imamate is the conception main thought Imami Twelve Imams, while the conception of others is a concept of supporting an implication of the emergence of the conception main or principal that is Imamat. It also means that the conceptions supporters may not come up in the realm of thought Twelver Imam if the main conception does not appear.
Confidence is what later became the pivot for all conceptions and beliefs that appear later, so that we can call that the Imamate is the conception main thought Imami Twelve Imams, while the conception of others is a concept of supporting an implication of the emergence of the conception main or principal that is Imamat. It also means that the conceptions supporters may not come up in the realm of thought Twelver Imam if the main conception does not appear.
Konsepsi-konsepsi tersebut di atas dapat digambarkan dalam sebuah diagram sebagai berikut:
Dalam
hal Rukun Iman misalnya, selain pemikiran Syiah Dua Belas Imam
terinfiltrasi oleh pemikiran Mu’tazilah dengan memasukkan dua rukun
penting Mu’tazilah yaitu at-Tauhīd (Keesaan Tuhan), dan ‘Adl (keadilan Tuhan), Syiah dua belas imam juga memasukkan rukun al-Imāmah (Kepemimpinan pasca wafatnya Rasul) ke dalam Rukun Iman mereka yang lima yaitu: at-Tauhīd (Keesaan Tuhan), al-‘Adl (Keadilan Tuhan), an-Nubuwwah (Kenabian), al-Ma’ād (Tempat Kembali/Hari akhir)[1].
Bahkan Imamah -menurut mereka- menempati urutan pertama dari deretan
Rukun Iman yang lima; di mana keimanan dianggap tidak sah, bila tidak
dibarengi dengan keimanan terhadap Imamah …[2].
Lebih
dari itu al-Bahrani dan Ni’matullah al-Jazairi, demikian pula Ibnu
Babawe al-Qummi; yang lebih dikenal dengan sebutan as-Shaduq,
berpendapat bahwa iman kepada kenabian Muhammad tidak ada artinya jika
tidak dibarengi dengan keimanan kepada Imamah[3].
Al-Kulayni juga meriwayatkan sejumlah Hadis yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan Rukun Islam terbesar:
Dari Abi Ja’far berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara yaitu Shalat, Zakat, Puasa,
Haji dan Wilayah”. Zurarah berkata: “Aku berkata: “Mana yang lebih
utama?” Beliau menjawab: “Yang paling utama adalah wilayah/imamah, sebab
ia kunci dari yang lainnya, sementara seorang Wali/Imam adalah pemandu
bagi mereka. Lalu aku berkata: “Lalu setelah itu?” Beliau menjawab,
“Lalu Shalat … “[4].
Dalam Hadis lain juga dari Abu Ja’far beliau berkata:
Tidak
hanya itu, keyakinan kepada Imamah menurut Syiah menjadi syarat
diterimanya amal perbuatan. Dalam Hadis yang dinukil oleh al-Kulayni
dari Abi Abdillah As, beliau berkata:
Sesungguhnya
hal yang pertama kali ditanyakan kepada seorang hamba di saat berdiri
di hadapan Allah adalah shalat fardhu, zakat, puasa, haji, serta Imamah
terhadap Ahli Bait; jika mereka menyatakan beriman kepada Imamah kami,
lalu meninggal dunia, maka shalat, puasa, zakat dan hajinya diterima.
Akan tetapi jika ia tidak meyakini Imamah kami di hadapan Allah, maka
amal perbuatannya tidak akan diterima[6].
Konsekuensi
logis dari pendapat di atas adalah bahwa apabila mereka meninggal tanpa
mengenal Imamnya, maka ia meninggal dalam kondisi jahiliah, kekafiran
dan kemunafikan[7].
Berdasarkan hal ini, maka para Imam -sebagaimana Rasul- juga menjadi masdar at-tasyrī’ (sumber
hukum). Berarti apa yang diucapkannya, dilakukannya dan apa yang
diputuskannya menjadi sumber hukum, sebanding dengan perkataan,
perbuatan dan keputusan Rasulullah Saw. Ini dapat kita lihat dengan
jelas dalam definisi Hadis shahih sebagaimana dinukil oleh Shiekh
Dhiya’:
“Mā ittashala sanaduhu ilā al-maksūm binaqli al-adl al-Imāmi ‘an mitslihi fī jami’ al-thabaqōt haitsu takūnu muta’addidah”[8]
(Yang sanadnya tersambung kepada Al-Maksum,
dengan perawi yang adil (memiliki integritas moral) dari kalangan Syiah
Imamiah dari yang semisalnya dalam semua tingkatan, sehingga menjadi
beragam).
Kata al-ma’sum dalam definisi
di atas jelas menunjuk bukan saja kepada Nabi tapi juga kepada Imam.
Karena jika yang dimaksud adalah Nabi, maka redaksinya pasti berbunyi mā ittashala sanaduhu ilā Rasūlillāh Saw atau ilā an-nabi Saw
(yang sanadnya tersambung kepada Rasul/Nabi). Hal ini diperkuat dengan
beragam Hadis yang diriwayatkan oleh para ulama’ Hadis Syiah, salah
satunya Hadis yang diriwayatkan oleh al-Kulayni berikut[9]:
عن هشام بن سالم وحماد بن عثمان وغيره قالوا سمعنا أبا عبد الله يقول:
حديثي حديث أبي وحديث أبي حديث جدي، وحديث جدي حديث الحسين وحديث الحسين
حديث الحسن وحديث الحسن حديث أمير المؤمنين وحديث أمير المؤمنين حديث رسول
الله ﷺ وحديث رسول الله قول الله عز وجل.
“Perkataanku
adalah perkataan bapakku, perkataan bapakku adalah perkataan kakekku,
perkataan kakekku adalah perkataan Husein, perkataan Husein adalah
perkataan Hasan, perkataan Hasan adalah perkataan Amir al-Mukminin, dan
perkataan Amir Mukminin adalah perkataan Rasulullah, dan perkataan
Rasulullah adalah perkataan Allah Swt.”
Ini
artinya: Perkataan Imam adalah perkataan Allah, yang berarti menaati
perkataan Imam adalah menaati perkataan Allah. Sebaliknya, menentang
perkataan Imam adalah menentang perkataan Allah.
Karena
para Imam juga menjadi sumber hukum selain Allah dan Rasulnya, menurut
al-Majlisi, para Imam terjaga dari segala bentuk dosa -baik kecil maupun
besar-, baik disengaja maupun tidak (maksum)[10].
Dalam
kaitannya dengan Al-Quran, sebagian ulama’ Syiah masih memiliki
keyakinan bahwa Al-Quran yang sesungguhnya masih berada di tangan Imam
Mahdi, sehingga Al-Quran yang ada sekarang, menurut mereka, tidak
otentik, karena telah diubah oleh Madrasah al-Khilāfah (Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah) [11].
Problem ini juga muncul akibat keyakinan negatif mereka terhadap para
Sahabat Nabi. Sebab jika mereka berkeyakinan bahwa para Sahabat
seluruhnya telah kafir, zhalim atau fasik -kecuali beberapa orang-
karena telah menolak dan merebut Imamah dari Imam Ali, maka Al-Quran
yang diriwayatkan oleh mereka menjadi problematik secara transmisi (tsubūt).
Dalam
tradisi keilmuan Syiah, para Imam adalah satu-satunya pemegang otoritas
dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, karena mereka berkeyakinan
bahwa Al-Quran memiliki makna zhahir dan makna batin, makna batin tidak
mungkin dapat diungkap kecuali oleh para Imam.
Selain
itu, banyak ayat-ayat Al-Quran yang konteksnya dikaitkan dengan Imamah,
padahal tidak memiliki keterkaitan baik secara bahasa maupun secara dilālah (kontek). Al-Kulayni misalnya, menafsirkan makna an-nūr dalam surat at-Taghabun 8 dengan “Para Imam” dan al-A’raf 157 dengan “Ali dan para Imam”[12]. Makna “Nūrullāh” dalam surat as-Shaf 8, dengan “wilayat Amir al-mukminīn’ (kepemimpinan Imam Ali), dan “wallāhu mutimmu nūrihi” dalam ayat yang sama dengan (wallahu mutimmu al-imāmah) karena makna an-nur menurutnya adalah Imam[13].
Demikian pula dalam penafsiran surat an-Nur 15. al-Kulayni juga menafsirkan al-misykat dengan Fatimah, mishbāh dengan Hasan, az-zujājah dengan Husain, kaukabun durriyy dengan Fatimah, Syajaratin mubārakah dengan Ibrahim, nur alā Nur dengan imām alā imām (Imam setelah Imam), yahdillāhu linūrihi man yasyā’ dengan yahdillahu lil aimmati man yasyā’ (Allah memberi hidayah dengan para Imam siapa saja yang dikehendaki-Nya), waman lam yaj’alillāhu lau nūr dengan imaman min waladi Fātimah as. (imam dari putra Fatimah), famā lahū min nūr dengan famā lahū min imām yauma al-qiyāmah (maka ia tidak akan memiliki imam pada hari kiamat).[14]
Konsep
Imamah seperti disebut di atas juga memiliki implikasi terhadap
terbentuknya cara pandang serta sikap negatif terhadap para Sahabat;
karena jika Imam yang sah berdasarkan konsep nash wa al-washiyyah (teks
dan wasiat) adalah Imam Ali, maka naiknya Khalifah Abu Bakar, Umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan disebabkan karena mereka telah berhasil
merebut atau mengkudeta hak Imam yang sah. Sosok-sosok pribadi yang
demikian beserta semua orang yang mendukung mereka tentu saja tidak bisa
dipercaya, apalagi dalam meriwayatkan Hadis-Hadis Rasul Saw.[15] Risikonya seluruh Hadis yang diriwayatkan dari jalur mereka –secara otomatis- tidak bisa diterima.
Dengan
mengeliminasi semua periwayatan yang datang melewati jalur para
Sahabat, artinya mempersempit diterimanya Hadis dari Rasul Saw., hal ini
-di sisi lain- tentu akan membuka peluang periwayatan hadis yang
bersumber dari para Imam melewati jalur periwayatan Syiah. Jumlah Imam
yang begitu banyak (Dua Belas Imam) didukung oleh lemahnya standarisasi
kritik Hadis Syiah Dua Belas Imam, membuka peluang munculnya ribuan
bahkan puluhan ribu hadis palsu yang dinisbatkan kepada para Imam dengan
cara dusta tanpa terseleksi. Dengan demikian konten, ajaran dan nilai
yang tidak orisinal dapat masuk ke dalam struktur keilmuan Syiah dengan
legalitas yang tinggi atas nama Hadis.
Implikasi Imamah juga sangat terasa terhadap kajian fiqih dan ushul fiqih. Ketika berbicara tentang mashādir at-Tasyrī’ (Sumber
Hukum) yang empat: Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas, Al-Quran dan Hadis
–seperti telah disinggung di atas- telah terkontaminasi oleh konsep
Imamah, sementara Ijma’ bagi mereka bisa dianggap jika Imam berada di
tengah mereka yang sedang melakukan ijma’, sementara hasil ijma’
tersebut juga bisa dianggap jika menyingkap apa yang dikatakan oleh
Imam.[16] Ini artinya bahwa hal yang paling menonjol dalam ijma’ serta menjadi porosnya adalah sosok Imam.